Perbedaan PP dan PKB: Panduan Legal dan Praktis untuk HR dan Serikat Pekerja

Perbedaan Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) menjadi topik penting dalam dunia ketenagakerjaan, terutama bagi praktisi HR, pengusaha, dan serikat pekerja. Memahami keduanya bukan hanya soal administrasi legal, melainkan fondasi dari hubungan industrial yang sehat. Artikel ini membahas secara mendalam perbedaan PP dan PKB agar Anda dapat memilih bentuk regulasi internal yang paling sesuai dengan struktur organisasi dan keberadaan serikat pekerja.

Dasar Hukum PP dan PKB

Perbedaan PP dan PKB secara hukum dijelaskan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 1 ayat 20 dan 21. Berikut penjelasan legalnya:

  • Peraturan Perusahaan (PP) adalah peraturan yang dibuat secara sepihak oleh pengusaha dan mengatur syarat kerja serta tata tertib perusahaan.
  • Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah hasil perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja yang memuat syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak.

Keduanya diatur lebih lanjut dalam Permenaker No. 16 Tahun 2011 dan PP 35 Tahun 2021.

Definisi: PP dan PKB

Perbedaan PP dan PKB terlihat jelas dari aspek definisi dan pembuatnya:

  • PP adalah dokumen sepihak yang disusun oleh manajemen untuk mengatur hal-hal yang bersifat normatif dan administratif dalam hubungan kerja.
  • PKB merupakan hasil kesepakatan antara serikat pekerja dan pengusaha yang mengikat secara hukum dan bersifat kontraktual.

Tabel Perbandingan Perbedaan PP dan PKB

AspekPP (Peraturan Perusahaan)PKB (Perjanjian Kerja Bersama)
PembuatPengusahaPengusaha & Serikat Pekerja
Proses PembuatanSepihak, disahkan DisnakerMelalui perundingan
Masa Berlaku2 tahun, wajib diperbarui2 tahun, dapat diperpanjang 1 tahun
Dasar HukumPasal 1 ayat 20, UU No. 13/2003Pasal 1 ayat 21, UU No. 13/2003
Persetujuan SerikatTidak wajibWajib, karena hasil perundingan
SifatUmum, berlaku untuk semua pekerjaSpesifik, tergantung isi perjanjian
IsiSyarat kerja, tata tertibSyarat kerja, hak dan kewajiban bersama

Proses Penyusunan dan Pengesahan

Perbedaan PP dan PKB juga terletak pada proses pembentukannya:

Proses Penyusunan dan Pengesahan PP:

  1. Penyusunan Awal: Dilakukan oleh pengusaha, umumnya oleh tim HR dan legal.
  2. Konsultasi Internal: Meski tidak wajib, banyak perusahaan melakukan sosialisasi kepada perwakilan pekerja.
  3. Pengajuan ke Disnaker: PP wajib diajukan ke Dinas Tenaga Kerja setempat.
  4. Evaluasi Disnaker: Dinas Tenaga Kerja memiliki waktu 30 hari kerja untuk memberikan pengesahan atau memberikan catatan perbaikan.
  5. Pengesahan: Jika disetujui, PP berlaku selama 2 tahun.
  6. Revisi dan Pembaruan: Setelah masa berlaku habis, PP harus diperbarui dan disahkan kembali.

Proses Penyusunan dan Pengesahan PKB:

  1. Pembentukan Tim Perunding: Melibatkan perwakilan pengusaha dan serikat pekerja.
  2. Perundingan Bipartit: Melalui diskusi dan negosiasi untuk menyusun isi perjanjian.
  3. Penyusunan Naskah PKB: Setelah sepakat, dituangkan dalam bentuk tertulis.
  4. Penandatanganan: Dilakukan oleh kedua belah pihak.
  5. Pendaftaran ke Disnaker: PKB tidak perlu disahkan, cukup didaftarkan untuk diberi nomor pencatatan.
  6. Revisi dan Perpanjangan: PKB berlaku 2 tahun dan bisa diperpanjang 1 tahun, kemudian disusun ulang.

Proses penyusunan dan pengesahan PKB lebih kompleks karena berbasis dialog sosial, tetapi memberikan legitimasi lebih kuat karena mewakili suara pekerja.

Masa Berlaku dan Perpanjangan

Perbedaan PP dan PKB dalam masa berlaku adalah sebagai berikut:

  • PP berlaku selama 2 tahun sejak tanggal pengesahan oleh Disnaker. Setelah itu, pengusaha wajib menyusun ulang dan mengajukan kembali untuk pengesahan. Tidak diperbolehkan hanya memperpanjang dokumen lama.
  • PKB juga berlaku selama 2 tahun. Namun, PKB dapat diperpanjang selama 1 tahun dengan persetujuan tertulis dari kedua belah pihak tanpa proses perundingan ulang. Setelah perpanjangan 1 tahun berakhir, PKB harus disusun ulang melalui proses perundingan bipartit dari awal.

Dalam praktiknya, masa berlaku ini krusial untuk menjaga kepatuhan hukum dan hubungan kerja yang stabil. Perusahaan yang gagal memperbarui PP atau memperpanjang PKB tepat waktu dapat menghadapi sanksi administratif dan ketidakjelasan hukum dalam hubungan kerja.

Selain itu, masa berlaku mempengaruhi ruang negosiasi. Dalam PKB, masa berlaku memberi jeda untuk evaluasi dan renegosiasi agar sesuai dengan dinamika organisasi dan perkembangan regulasi terbaru.

Prinsip Kesepakatan: Sepihak vs Bipartit

Perbedaan PP dan PKB juga mencerminkan filosofi hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha. Prinsip kesepakatan dalam kedua dokumen ini menjadi kunci untuk memahami legitimasi dan keterlibatan pekerja dalam penetapan aturan kerja.

PP: Sepihak oleh Pengusaha

Peraturan Perusahaan dibuat oleh pengusaha secara sepihak, meskipun dalam praktiknya bisa melalui konsultasi dengan perwakilan pekerja. Namun, konsultasi ini tidak bersifat mengikat dan hanya menjadi sarana sosialisasi sebelum pengajuan ke Dinas Tenaga Kerja.

  • Tidak ada kewajiban hukum untuk menyetujui isi PP bersama pekerja.
  • Persetujuan pekerja atau perwakilannya tidak diperlukan secara formal.
  • Kekuatan hukum berasal dari pengesahan oleh Disnaker, bukan hasil perundingan.

PKB: Bipartit, Simbol Kesetaraan

Sebaliknya, PKB mengandalkan proses bipartit, yaitu perundingan langsung antara pengusaha dan serikat pekerja.

  • Prinsip dasarnya adalah kesetaraan posisi dan musyawarah mufakat.
  • PKB hanya sah jika ditandatangani oleh kedua belah pihak.
  • Seluruh isi PKB merupakan hasil kompromi antara tuntutan serikat pekerja dan kebijakan perusahaan.

Implikasi Praktis

  • PP cocok digunakan di perusahaan yang belum memiliki serikat pekerja atau masih dalam tahap awal pertumbuhan.
  • PKB ideal untuk perusahaan dengan organisasi pekerja yang aktif dan telah terdaftar di Disnaker.

Dampak terhadap Hubungan Industrial

  • PP cenderung bersifat normatif dan administratif, dengan risiko resistensi lebih tinggi dari pekerja jika isi dianggap tidak adil.
  • PKB lebih diterima oleh pekerja karena lahir dari proses dialog, dan sering kali memuat ketentuan yang lebih berpihak pada kesejahteraan pekerja dibanding standar minimum dalam PP.

Dengan memahami prinsip sepihak vs bipartit ini, HR dan pengusaha dapat mengambil pendekatan yang paling tepat dalam membangun sistem ketenagakerjaan yang stabil, legal, dan partisipatif.

Implikasi UU Cipta Kerja dan PP 35/2021

UU Cipta Kerja tidak mengubah secara langsung struktur PP dan PKB, namun PP 35 Tahun 2021 memberi ruang negosiasi yang lebih luas terhadap hak-hak pekerja dalam kondisi PHK, alih perusahaan, dan penyesuaian syarat kerja.

Perbedaan PP dan PKB semakin penting diperhatikan karena UU Cipta Kerja mendorong fleksibilitas pasar kerja dan negosiasi yang lebih aktif antara pekerja dan pengusaha.

Studi Kasus: Penerapan PP vs PKB

Studi Kasus 1: Perusahaan Tanpa Serikat Pekerja

PT Maju Bersama menggunakan PP karena belum ada serikat pekerja. Namun, karena tidak pernah diperbarui sejak 5 tahun lalu, mereka mendapat teguran dari Disnaker.

Studi Kasus 2: PKB Menjadi Alat Negosiasi Fleksibel

PT Energi Global memiliki PKB aktif yang memuat ketentuan pesangon lebih tinggi dari UU. Saat terjadi alih perusahaan, hak-hak pekerja tetap dilindungi karena merujuk pada PKB yang telah didaftarkan.

Risiko Hukum Jika Salah Menetapkan Dokumen

Perbedaan PP dan PKB tidak hanya penting secara administratif, tapi juga menyangkut risiko hukum yang bisa merugikan perusahaan jika salah dalam penetapannya. Berikut penjelasan mendalam mengenai risiko-risiko tersebut:

1. Sanksi Administratif dari Kementerian Ketenagakerjaan

Jika perusahaan seharusnya memiliki PKB karena telah memiliki serikat pekerja, namun tetap menggunakan PP, maka Dinas Ketenagakerjaan dapat menolak pengesahan PP tersebut. Hal ini dapat berakibat:

  • Tidak adanya dokumen resmi yang mengatur hubungan kerja.
  • Pemeriksaan oleh pengawas ketenagakerjaan.
  • Rekomendasi untuk pembentukan PKB sebagai kewajiban.

2. Risiko Gugatan Hukum oleh Pekerja atau Serikat

Serikat pekerja dapat menggugat PP yang diberlakukan sepihak tanpa proses bipartit sebagaimana diwajibkan dalam ketentuan ketenagakerjaan. Ini bisa berdampak:

  • PKB yang seharusnya berlaku dianggap diabaikan.
  • Pengusaha dituding melanggar prinsip kebebasan berserikat.
  • Mahkamah hubungan industrial dapat membatalkan PP yang tidak sah secara hukum.

3. Risiko Pemutusan Hubungan Industrial

Kesalahan dalam menetapkan dokumen juga dapat memicu konflik yang meruncing ke dalam pemogokan kerja, demo, hingga putusnya hubungan kerja secara massal. Contohnya:

  • Pekerja merasa tidak dilibatkan dalam pembuatan aturan kerja.
  • Tuntutan kenaikan kesejahteraan tidak tertuang dalam PP.
  • PKB lama habis masa berlakunya, namun belum ada PKB baru yang dinegosiasikan.

4. Tidak Berlaku Secara Legal

Dokumen PP yang ditetapkan tanpa dasar atau belum disahkan Dinas Tenaga Kerja, dan tetap diberlakukan kepada pekerja, berpotensi tidak sah di mata hukum. Akibatnya:

  • Perusahaan tidak memiliki landasan legal jika terjadi sengketa.
  • Segala tindakan disiplin atau pemutusan kerja bisa dianggap cacat hukum.
  • Hak-hak normatif pekerja tidak terlindungi secara sah.

5. Pelanggaran terhadap UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja

PKB dan PP diatur secara tegas dalam UU Ketenagakerjaan serta PP 35/2021. Jika perusahaan:

  • Tidak memperbarui PP atau PKB dalam waktu yang ditentukan,
  • Menggunakan format yang tidak sesuai ketentuan pemerintah,
  • Tidak menyosialisasikan isi dokumen tersebut kepada pekerja,

maka perusahaan dianggap tidak patuh hukum dan dapat dikenakan sanksi administratif, teguran, atau bahkan denda administratif.

6. Reputasi Perusahaan Tercoreng

Konflik ketenagakerjaan yang timbul akibat salah penetapan dokumen dapat mencoreng reputasi perusahaan di mata publik, calon investor, dan pelamar kerja. Hal ini terutama berlaku bagi perusahaan multinasional atau yang sudah go public.

Kesimpulan: Kesalahan dalam menetapkan apakah sebaiknya menggunakan PP atau PKB bukanlah hal sepele. HR dan manajemen perusahaan harus memahami konteks organisasinya: apakah sudah ada serikat pekerja aktif, bagaimana budaya perusahaan terhadap dialog sosial, dan apakah sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan terbaru. Ketepatan dalam memilih dokumen yang benar akan memperkuat hubungan industrial dan meminimalkan risiko hukum.

Panduan Praktis: Kapan Menggunakan PP atau PKB?

Kondisi PerusahaanGunakan PPGunakan PKB
Tidak ada serikat pekerja
Ada serikat pekerja aktif dan terdaftar
Perusahaan skala kecil menengahOpsional
Perusahaan dengan tenaga kerja besar

Langkah-Langkah Membuat PP dan PKB

Pembuatan PP maupun PKB memerlukan tahapan yang sistematis dan sesuai regulasi. Berikut panduan lengkap langkah-langkahnya:

A. Langkah-Langkah Membuat Peraturan Perusahaan (PP)

  1. Persiapan Internal
    • Identifikasi kebutuhan dan ruang lingkup PP.
    • Bentuk tim penyusun dari bagian HR dan legal.
  2. Penyusunan Draft
    • Mengacu pada peraturan perundang-undangan (UU Ketenagakerjaan, PP 35/2021).
    • Masukkan ketentuan normatif dan spesifik perusahaan.
  3. Sosialisasi kepada Pekerja
    • Lakukan konsultasi dan penjelasan kepada perwakilan pekerja.
    • Terima masukan dan perbaiki jika perlu.
  4. Pengesahan oleh Dinas Ketenagakerjaan
    • Ajukan draft ke Disnaker setempat.
    • Proses evaluasi dan revisi jika diperlukan.
    • Jika disetujui, Disnaker akan mengeluarkan surat pengesahan.
  5. Distribusi dan Implementasi
    • Sosialisasikan ke seluruh karyawan.
    • Terapkan secara konsisten dalam praktik kerja.

B. Langkah-Langkah Membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

  1. Pembentukan Tim Perunding
    • Pihak pengusaha dan serikat pekerja masing-masing menunjuk tim perunding resmi.
  2. Perundingan PKB
    • Lakukan perundingan bipartit sesuai prinsip musyawarah.
    • Bahas pasal demi pasal untuk mencapai kesepakatan bersama.
  3. Penyusunan Naskah Final
    • Finalisasi hasil perundingan dalam bentuk tertulis.
    • Periksa kembali kesesuaian dengan UU Ketenagakerjaan dan norma-norma lainnya.
  4. Pengesahan oleh Disnaker
    • Ajukan naskah ke Disnaker untuk pengesahan.
    • Jika disetujui, PKB akan menjadi dokumen sah yang berlaku mengikat.
  5. Sosialisasi dan Implementasi
    • Informasikan isi PKB kepada seluruh karyawan.
    • Pastikan semua unit kerja memahami dan menerapkannya.
  6. Evaluasi dan Perpanjangan
    • Lakukan peninjauan berkala menjelang masa berakhir.
    • Lakukan perundingan ulang jika diperlukan untuk perpanjangan.

Rangkuman Talentiv

Artikel ini membahas perbedaan mendasar antara Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), mulai dari definisi, dasar hukum, proses penyusunan, masa berlaku, hingga risiko hukum jika salah menetapkan dokumen. Juga disertakan panduan langkah-langkah penyusunan keduanya agar perusahaan dapat memilih dokumen yang sesuai secara legal dan praktis.

Post Tag :