
Landasan hukum ketenagakerjaan Indonesia adalah fondasi yang mengatur hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja di Indonesia, memberikan kepastian hukum, perlindungan hak, dan kewajiban bagi kedua belah pihak.
Dalam era globalisasi, peraturan ketenagakerjaan tidak hanya menjadi panduan bagi pengusaha dan pekerja, tetapi juga menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi iklim investasi dan produktivitas tenaga kerja nasional.
Artikel ini akan membahas secara lengkap landasan hukum ketenagakerjaan Indonesia mulai dari dasar konstitusional, undang-undang pokok, perubahan melalui UU Cipta Kerja, peraturan pelaksana, putusan Mahkamah Konstitusi, hingga panduan praktis bagi HR dan perusahaan untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi. Disertakan pula tabel perbandingan pasal kunci, checklist kepatuhan, dan FAQ yang dapat membantu Anda memahami aturan dengan lebih cepat.
Landasan Konstitusional dan Filosofi Hukum Ketenagakerjaan
Landasan hukum ketenagakerjaan Indonesia berpijak pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Beberapa pasal kunci yang menjadi fondasi:
- Pasal 27 ayat (2) UUD 1945: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
- Pasal 28D ayat (2): “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
- Pasal 33: mengatur perekonomian nasional termasuk perlindungan tenaga kerja sebagai bagian dari kesejahteraan umum.
Dari filosofi ini, ketenagakerjaan tidak hanya dilihat sebagai hubungan kontraktual, tetapi juga sebagai sarana mencapai kesejahteraan sosial dan keadilan bagi seluruh rakyat.
Hierarki Perundang-Undangan di Bidang Ketenagakerjaan

Untuk memahami landasan hukum ketenagakerjaan Indonesia, kita harus memahami hirarki peraturan perundang-undangan:
- UUD 1945 – dasar konstitusional tertinggi.
- Undang-Undang / Perppu – aturan pokok (contoh: UU No. 13 Tahun 2003).
- Peraturan Pemerintah (PP) – aturan pelaksana UU.
- Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) – ketentuan teknis.
- Keputusan Menteri (Kepmen) – petunjuk operasional.
Alur sederhana:
UUD 1945
↓
Undang-Undang (UU 13/2003, UU 6/2023)
↓
Peraturan Pemerintah (PP 35/2021, PP 36/2021, PP 37/2021)
↓
Permenaker & Kepmen
UU No. 13 Tahun 2003: Undang-Undang Pokok Ketenagakerjaan
UU No. 13 Tahun 2003 adalah pilar utama landasan hukum ketenagakerjaan Indonesia sebelum mengalami perubahan melalui UU Cipta Kerja dan UU No. 6 Tahun 2023.
UU ini disahkan pada 25 Maret 2003 dan terdiri dari 18 Bab dan 193 Pasal yang mencakup seluruh aspek hubungan kerja, mulai dari perjanjian kerja, waktu kerja, pengupahan, hingga perlindungan khusus bagi pekerja perempuan dan anak.
Latar Belakang & Filosofi UU 13/2003
Sebelum lahirnya UU ini, aturan ketenagakerjaan di Indonesia tersebar di berbagai undang-undang dan peraturan kolonial. Tujuan UU 13/2003 adalah:
- Menghimpun berbagai ketentuan menjadi satu undang-undang komprehensif.
- Menjamin perlindungan pekerja sekaligus kepastian hukum bagi pengusaha.
- Menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan.
- Menyesuaikan peraturan ketenagakerjaan dengan era globalisasi dan investasi asing.
Filosofi utamanya berpijak pada Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D.
Struktur Bab dan Isi UU 13/2003
UU ini dibagi menjadi 18 Bab:
Bab | Judul | Pasal | Pokok Materi |
---|---|---|---|
I | Ketentuan Umum | 1–4 | Definisi, asas, tujuan |
II | Dasar, Asas, dan Tujuan | 5–7 | Prinsip hubungan kerja |
III | Kesempatan dan Perlakuan yang Sama | 8–10 | Anti diskriminasi |
IV | Hubungan Kerja | 50–66 | PKWT & PKWTT, PK Perusahaan |
V | Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejahteraan | 77–98 | Jam kerja, upah, cuti |
VI | Pelatihan Kerja | 9–21 | BLK, sertifikasi |
VII | Penempatan Tenaga Kerja | 31–38 | Penyaluran tenaga kerja |
VIII | Hubungan Industrial | 102–115 | LKS Bipartit, Tripartit |
IX | Pemutusan Hubungan Kerja | 150–172 | Prosedur PHK |
X | Perlindungan Khusus | 76–83 | Perempuan, anak, disabilitas |
XI | Pengawasan & Sanksi | 176–190 | Pengawas ketenagakerjaan |
XII | Ketentuan Peralihan | 191–193 | Aturan transisi |
Perjanjian Kerja: PKWT dan PKWTT
Salah satu bagian paling krusial dari UU 13/2003 adalah pengaturan Perjanjian Kerja:
- PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu)
- Hanya untuk pekerjaan yang sifatnya sementara atau musiman.
- Maksimal 2 tahun, dapat diperpanjang 1 kali selama 1 tahun.
- Wajib tertulis dan tidak boleh untuk pekerjaan tetap.
- Jika melanggar, otomatis menjadi PKWTT.
- PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu)
- Berlaku untuk pekerjaan bersifat tetap.
- Umumnya diawali masa percobaan maksimal 3 bulan.
- Tidak dibatasi durasi kerja.
Jam Kerja dan Waktu Istirahat
Pasal 77–85 mengatur:
- Jam kerja normal:
- 7 jam/hari & 40 jam/minggu (6 hari kerja/minggu)
- 8 jam/hari & 40 jam/minggu (5 hari kerja/minggu)
- Istirahat mingguan: 1 atau 2 hari sesuai sistem kerja.
- Cuti tahunan: minimal 12 hari kerja setelah 12 bulan bekerja.
- Cuti khusus: menikah, menikahkan anak, istri melahirkan, kematian anggota keluarga inti.
Pengupahan
Pasal 88–98 mengatur prinsip pengupahan yang layak:
- Upah minimum ditetapkan pemerintah provinsi/kabupaten.
- Struktur dan skala upah wajib dibuat perusahaan.
- Larangan membayar upah di bawah minimum.
- Perlindungan upah bagi pekerja yang sakit, cuti, atau sedang menjalankan kewajiban negara.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
PHK adalah salah satu isu paling sensitif, diatur di Pasal 150–172:
- Wajib dihindari sebisa mungkin.
- Jika PHK dilakukan:
- Wajib ada pemberitahuan tertulis.
- Harus dibayar pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
- Perselisihan PHK diselesaikan di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial).
Perlindungan Khusus
UU 13/2003 memberi perhatian pada pekerja rentan:
- Pekerja perempuan: hak cuti haid, cuti melahirkan, perlindungan kerja malam.
- Pekerja anak: larangan mempekerjakan anak di bawah 18 tahun, kecuali pekerjaan ringan dengan syarat ketat.
- Pekerja disabilitas: hak aksesibilitas dan perlindungan.
Pelaksanaan & Penegakan Hukum
Pasal 176–190 mengatur:
- Pengawasan: dilakukan pengawas ketenagakerjaan.
- Sanksi:
- Administratif: teguran, pembekuan izin.
- Pidana: kurungan atau denda bagi pelanggaran berat (misalnya mempekerjakan anak tanpa izin).
Perubahan Melalui UU Cipta Kerja dan UU No. 6 Tahun 2023

Perubahan Melalui UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020)
- Latar belakang: alasan pemerintah membuat omnibus law.
- Pasal yang diubah dari UU 13/2003: PKWT, PHK, pesangon, jam kerja, cuti.
- Poin kontroversial: hilangnya beberapa perlindungan pekerja.
- Dampak bagi pekerja dan pengusaha.
Perubahan Melalui UU No. 6 Tahun 2023
- Latar belakang: penyempurnaan setelah Putusan MK.
- Pasal yang direvisi untuk menutup celah hukum.
- Kembali ditekankannya aspek perlindungan pekerja.
- Dampak bagi hubungan industrial di Indonesia.
Tabel Perbandingan Sebelum & Sesudah Perubahan
Aspek | UU 13/2003 | Setelah UU Cipta Kerja | Setelah UU No. 6/2023 |
---|---|---|---|
PKWT | Maks 2+1 tahun | Fleksibel sesuai jenis pekerjaan | Dipertegas kembali definisi & batas waktu |
PHK | Proses panjang di PHI | Proses lebih ringkas | Tambahan perlindungan hak pesangon |
Pesangon | 2x ketentuan dasar | Maks 1,75x ketentuan dasar | Disesuaikan kembali & ada kompensasi baru |
Jam Kerja | 40 jam/minggu | Fleksibilitas sektor tertentu | Batas tetap + fleksibilitas sektor tertentu |
Cuti | Cuti tahunan min. 12 hari | Tidak diubah | Tidak diubah |
Peraturan Pelaksana Penting
Tiga PP utama yang menjadi tulang punggung pelaksanaan UU Ketenagakerjaan pasca-Cipta Kerja adalah:
- PP No. 35 Tahun 2021: mengatur PKWT, alih daya, jam kerja, dan PHK.
- PP No. 36 Tahun 2021: mengatur pengupahan, upah minimum, dan struktur skala upah.
- PP No. 37 Tahun 2021: mengatur Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Putusan Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya

Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. MK memerintahkan perbaikan UU tersebut dalam jangka waktu tertentu. Implikasi bagi landasan hukum ketenagakerjaan Indonesia:
- Peraturan pelaksana tetap berlaku, tetapi pemerintah dan DPR wajib melakukan revisi.
- Ketidakpastian hukum jika revisi tidak dilakukan tepat waktu.
- Muncul wacana untuk memisahkan kembali UU Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja.
Dampak pada Isu-isu Utama
- PKWT & Outsourcing: perusahaan harus menyesuaikan kontrak agar sesuai PP 35/2021.
- Pengupahan: formula baru mempengaruhi penetapan UMP dan UMK.
- PHK: penyesuaian prosedur dan perhitungan pesangon.
- Jaminan Sosial: integrasi JKP sebagai perlindungan tambahan.
Tabel Perbandingan Sebelum & Sesudah Cipta Kerja
Aspek | Sebelum Cipta Kerja (UU 13/2003) | Sesudah Cipta Kerja (UU 6/2023) |
---|---|---|
PKWT | Jenis pekerjaan tertentu | Durasi diatur PP, tanpa batas jenis |
Outsourcing | Jenis pekerjaan tertentu | Cakupan luas |
Pesangon | Formula lebih besar | Formula baru + JKP |
Upah Minimum | Berdasarkan kebutuhan hidup layak | Berdasarkan inflasi & pertumbuhan ekonomi |
Rekomendasi Kebijakan
- Harmonisasi kembali UU Ketenagakerjaan untuk meminimalkan ketidakpastian hukum.
- Penguatan pengawasan ketenagakerjaan.
- Perlindungan khusus untuk pekerja rentan dan sektor informal.
Rangkuman Talentiv
Landasan hukum ketenagakerjaan Indonesia mengatur hubungan pekerja dan pengusaha demi perlindungan, keadilan, dan kepastian hukum. UU No. 13 Tahun 2003 menjadi dasar utama, kemudian diubah lewat UU Cipta Kerja yang memberi fleksibilitas kontrak dan menyederhanakan PHK, namun menuai protes.
Revisi melalui UU No. 6 Tahun 2023 mempertegas aturan kontrak, menambah kompensasi, dan memperkuat hak pekerja, dengan dampak yang menguntungkan pengusaha namun menuntut pengawasan ketat pemerintah.